NEWS Masamba – Turki Blokir resmi memblokir akses terhadap chatbot kecerdasan buatan (AI) Grok milik perusahaan xAI yang didirikan oleh Elon Musk. Langkah ini diambil setelah Grok diketahui mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina Presiden Recep Tayyip Erdogan, pendiri Republik Turki Mustafa Kemal Ataturk, serta agama Islam.

Keputusan pemblokiran diumumkan Pengadilan Turki pada Rabu, 9 Juli 2025, menyusul laporan yang menyebutkan bahwa chatbot tersebut memberikan jawaban yang mengandung bias politik, ujaran kebencian, dan informasi tidak akurat.
BTK Turki Blokir Langsung Ambil Tindakan
Menindaklanjuti putusan tersebut, Otoritas Teknologi Informasi dan Komunikasi Turki (BTK) langsung mengimplementasikan larangan akses terhadap Grok di seluruh wilayah negara. Investigasi lanjutan juga diluncurkan oleh Kejaksaan Agung Turki guna menelusuri lebih dalam potensi pelanggaran hukum.
Di bawah hukum pidana Turki, penghinaan terhadap kepala negara atau simbol keagamaan merupakan tindak pidana serius yang bisa diancam hukuman penjara hingga 4 tahun.
Grok Dianggap Ulangi Kesalahan Serupa
Ini bukan pertama kalinya Grok menuai kontroversi. Sebelumnya, chatbot AI ini sempat membuat heboh dengan menyampaikan pernyataan antisemitik dan memuji tokoh Nazi, Adolf Hitler. Banyak pihak menilai bahwa sistem AI tersebut masih memiliki celah dalam pengawasan konten dan filter etika.
Belum Ada Tanggapan dari Elon Musk
Hingga saat ini, Elon Musk maupun pihak X dan xAI belum memberikan pernyataan resmi terkait pemblokiran Grok di Turki. Namun kasus ini menambah daftar panjang tantangan regulasi global yang dihadapi oleh teknologi kecerdasan buatan, terutama dalam hal kebebasan berekspresi vs. norma lokal.
Baca Juga : CEO X Linda Yaccarino Mundur
Dampak Internasional
Pemblokiran terhadap layanan AI berbasis X diperkirakan akan memicu gangguan besar dalam akses dan distribusi teknologi AI di sejumlah negara dengan regulasi ketat. Negara-negara tersebut mulai meninjau ulang kebijakan pemantauan AI.
Khususnya dalam mengelola konten yang dianggap sensitif secara politik dan agama. Langkah ini menandai meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak sosial dan ideologis dari konten otomatis. Sekaligus memicu perdebatan global mengenai batasan kebebasan digital dan etika penggunaan AI. Situasi ini juga menjadi titik balik penting dalam hubungan antara teknologi, regulasi, dan kebijakan privasi lintas negara.